This is the End

Sebuah perayaan besar terlihat memeriahkan suasana Konoha saat ini. Berbagai lampion merah menggantung, berlambangkan Api. Sepanjang jalan yang semasa silam terlihat rusak dan hancur, kini berganti menjadi lintasan surga sejauh mata memandang. Konoha terlihat cantik setelah beberapa waktu lamanya para penduduk berusaha bahu membahu membangun kembali desa mereka. Diatas gedung Hokage sana, Kakashi berdiri menghadap wajah patungnya yang baru saja terukir keras di samping wajah Godaime. Pandangannya menerawang, kembali ke masa silam. Semilir angin yang menerbangkan dedaunan hijau melintasinya, membuat Kakashi kembali teringat dengan sahabat lamanya yang telah hilang.
Rin, dan Obito-nya.
Kakashi menggeleng sendiri dengan wajah tersenyum miris kala wajah kedua orang itu kembali mengitari pikirannya. Kemudian di pandanginyaa diri sendiri dengan seksama. Balutan panjang di tubuhnya Berlambaian begitu saja. Di rengutnya kain itu dengan perasaan yang tidak percaya. Baju Jounin yang menemaninya telah berganti menjadi jubah seorang pemimpin Negara.
"Rokudaime, eh?" suaranya bergumam pelan. Namun tak elak, senyuman terukir manis di bibirnya yang nampak. Tidak ada lagi masker hitam yang menutupinya. Mungkin saja, Konohagakure akan gempar menyambut dirinya yang baru.
"Hokage-sama ekh-!" Shizune masuk teratur, namun kaget saat mendapati diri Kakashi yang kini tak berbalut masker lagi, "M-Masker anda.."
"Jangan pedulikan," ia tersenyum ceria. Senyum yang benar-benar menampikkan betapa menawannya wajah sang Rokudaime saat itu. Shizune terbawa suasana sesaat. namun suara Kakashi dengan cepat menyadarkannya, "Apa ada sesuatu?"
Perempuan itu mengeluarkan sebuah surat beramplop pucat dari saku jaketnya, "Ini," ia memberikannya pada Kakashi dengan hormat. Terpampang jelas, sebuah surat undangan dari sebuah klan besar di Konoha.
Hyuuga – 30 September
"Hyuuga?" Shizune mengangguk sigap saat Kakashi bergumam pelan.
"Ada upacara pertunangan dari kedua anak mereka, besok. Antara keturunan Souke dan Bunke,"
"Begitukah?" Kakashi mendengus heran, "Hyuuga tidak pernah menikahkan anak mereka dari kalangan yang berbeda," ia meletakkan suratnya di atas meja Hokage. Kemudian duduk di sana dengan tangan yang bergerak mencari pena. Kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa.
"Ya.. sejarah baru akan terukir kali ini. Sistem Souke-Bunke sejak beratus tahun silam, akan menghilang," tangan Kakashi berhenti menulis. Wajahnya mengadah pada Shizune dengan pandangan menganga, "Tidak ada lagi burung di dalam sangkar,"
Tidak ada.
"Bukankah itu bagus?" senyum kembali mengembang pada wajah Kakashi. Mau tak mau senyuman itu menarik Shizune untuk ikut tersenyum.
"Ya, kurasa begitu,"
Perempuan itu pamit setelah surat kecil titipannya tersampaikan. Sudah saatnya ia kembali sibuk di dalam rumah sakit Konoha.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Rumah Naruto diketuk oleh seseorang dari luar. Munculah ketua Yamato, beserta Sakura dan Sai disana. Bocah pirang itu masih menggunakan piyama, mengucek matanya, dan menguap dengan malas.
"Hoaem.. ada apa?" tangannya kini mulai menggaruk perut kecoklatan tersebut. Sakura mendelik jijik, Sai tak dapat menahan senyumnya saat itu dan ketua Yamato hanya menggeleng pelan.
"Misi.. kita ada Misi Naruto," mata Aqua itu membulat besar.
"MISI!" ia teriak girang, seraya berlari masuk ke dalam rumahnya untuk mengganti pakaian dengan jaket oranye-hitam miliknya seperti biasa, "Ayo berangkatt!" suaranya terdengar nyaring.
Sakura tersenyum. Sai mengangguk. Yamato-san tertawa.
"oke, tuan," Sakura terkekeh pelan. Ini adalah, hari pertama Naruto menjalankan sebuah misi dengan tim tujuh, sebagai seorang Sannin. Yondaime dan Si rambut merah pasti tersenyum bangga terhadap anak mereka yang bisa meraih prestasi tinggi di umur muda.
Di sisi lain, sebuah daerah bertembok tinggi kini telah membebaskan seseorang dari tahanan khusus mereka. Tangan yang dirantai itu sudah terlepas dengan bebas. Kakinya tidak perlu lagi menyeret-nyeret bola besi berat sebagai beban dan baju kusam berwarna krim itu akhirnya di tanggalkan. Sasuke mengenakan seragamnya kembali. bukan seragam dengan tali berwarna ungu besar, melainkan baju berwarna hitam dengan kerah tinggi, beserta celana hitam sepanjang mata kaki, Mirip dengan pakaian milik Itachi. Wajah itu tersenyum penuh arti. Bahkan, lambang Uchiha dipunggungnya masih terukir dengan tegas.
"Kau bebas, Sasuke Uchiha," ia menghadap pada Ibiki, selaku kepala penjara khusus dengan pandangan hormatnya,
"Terimakasih," pria bercodet banyak itu menepuk pundak Sasuke dengan kuat,
"Selanjutnya, kuharap tidak ada lagi berita tentang kau sebagai missing-nin, hei bocah," rambut hitam yang sedikit memanjang itu berkibar ditiup angin. Wajahnya kaku, namun terlihat ramah karena tidak ada lagi garis-garis dendam seperti dahulu.
"Yah.. aku mengerti," tangan Sasuke bergerak membungkus tubuhnya dengan Jubah biru panjang yang baru saja di berikan oleh Ibiki.
"Mulai detik ini, kau bergerak sebagai partnerku," tukas Ibiki lagi. Pemuda Uchiha itu kembali mengatupkan matanya tanda mengerti. Tangannya menarik jubah biru yang menutupi tubuhnya diantara hembusan angin kencang.
"Aku tahu itu," dan ia pamit pergi. pulang ke rumah Uchiha yang sudah berdebu dan usang untuk sekian lamanya. Kaki itu berjalan tegas menuju ruang bawah tanah, menghancurkan sebuah tempat, yang dia rasa tidak akan di perlukan lagi untuk kehidupan selanjutnya. Sasuke mulai berbenah di rumahnya untuk pertama kali. Berbagai kenangan bertumpuk diantara kanan-kirinya yang kosong, penuh debu dan cahaya temaram dari lilin kecil yang bergantung pada tembok-tembok.
Tak menyangka, ia menemukan foto keluarganya yang tersisa satu disana. Sebuah frame kecil, tidak terlihat spesial ataupun mahal. Hanya ada selembar foto di dalamnya. Yang nyata melukiskan dirinya, Itachi dan kedua orangtua mereka. Memori Sasuke kembali berputar lama di dalam benaknya. Onyx itu berkaca-kaca, menyesakkan detak jantungnya, menyulitkan nafasnya. Dalam perasaan yang masih bergetar, Foto itu dibawanya menuju kamar, dan Sasuke meletakkannya pada meja disamping ranjang tidur yang berselimutkan seprai kusam.
Kakinya yang tanpa alas berjalan pelan menuju jendela. Dibukanya daun jendela tersebut, segurat langit biru yang lepas terpampang jelas diatas sana. Wajahnya tersungging kecil saat rambut pirang, pink, hitam dan seorang lagi melesat tajam melewati rumahnya yang nyaris menyandang gelar kuno.
"Tim tujuh, huh," ia mendengus tidak percaya. Sasuke bisa kembali berada di Konoha saat ini.
Lamunannya pecah saat pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Wajah itu tersentak mendengar ketukan yang terdengar tidak sabaran dari luar pekarangan Uchiha. Dengan perasaan yang masih campur aduk (antara nostalgia dengan perasaan yang ingin membunuh si pengetuk pintu), Sasuke menyahut malas,
"Siapa?" tangan berkulit putih itu meraih tubuh pintu dan menggesernya. ekspresinya terlukis datar sebelum akhirnya tamu Sasuke memperkenalkan secara halus siapa dirinya.
"Halo.."
Mereka dua orang. Laki-laki dan perempuan.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Malam itu lampu dikamar Hinata belum dimatikan dengan sempurna. Saat ini, ayahnya tengah meminta gadis itu dan Hanabi untuk menemuinya. Masih dengan wajah lelah sehabis menjalankan misi, Hinata berjalan lunglai, dan duduk di samping tubuh besar ayahnya, bersama dengan Hanabi.
"S-Selamat malam, ayah. Neji-nii," ucapnya yang di barengi dengan hormat dari Hanabi.
"Kalian berdua sudah tau kan maksudku memanggil kalian kemari?" ucapan tegas itu terlihat membingungkan kedua anak gadisnya.
"Untuk apa?" tanya Hanabi kemudian. Sementara Hinata hanya memaparkan ekspresi tidak mengertinya kala itu.
"Maaf, paman Hiashi. Biarkan saya saja yang menjelaskannya," Neji menyela dan berdiri dari duduknya. Mata Hiashi terbelalak tidak percaya,
"Apa kau bilang?" suaranya terdengar serak dan besar. Neji hanya mengatupkan matanya sejenak, kemudian menatap mata calon mertuanya itu dengan pandangan yakin,
"Saya ingin berbicara dengan calon tunangan saya," ia menarik salah satu gadis yang duduk di samping Hiashi, "Permisi sebentar," dan berjalan keluar dari ruangan setelah memberi hormat untuk pamit. Untuk beberapa saat, Hiashi-sama terlihat bengong, dan tercengang karena ulah dari keponakannya itu. hal ini tentu saja tidak menghapus wajah kaget dari kedua anaknya sekarang.
"A-Ayah… Neji-nii, serius?" pertanyaan kecil itu menjadi percakapan terakhir dari anaknya yang saat ini masih terbengong tidak percaya. Sementara yang satu lagi, wajahnya sudah bersemu merah.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Langit pagi kembali datang. Perayaan kemarin, kini terlihat semakin riuh saat beberapa lambang keluarga Hyuuga terpampang ramai di sepanjang jalan. Ini adalah acara pertunangan terbesar yang pernah diadakan oleh klan pemilik mata Byakugan itu sepanjang sejarah. Seluruh warga menyambutnya dengan gembira, tidak terkecuali para ninja, dan Hokage mereka, Kakashi, yang turut ikut menghadiri pertunangan tersebut. Hari ini Kakashi tidak menggunakan jubah Hokage-nya seperti kemarin. Namun, semua orang menyadari keberadaannya yang berjalan ditemani oleh beberapa Anbu di belakang. Tidak menampik kemungkinan jika beberapa pasang mata kini menatap Kakashi dengan pandangan terpesona. Terlebih-lebih karena masker hitam miliknya, tidak lagi menutupi wajah.
"GYAA! GURU KAKASHIII!" Naruto menjerit keras saat pertama kalinya menangkap wajah Kakashi yang tak lagi berbalut masker ketat, "K-kau? Guru Kakashi kan? Iya kan?" pria berambut perak itu hanya tersenyum sambil menggaruk pipinya seperti biasa. Sementara ketua Yamato memukul kepala Naruto karena bocah itu bertindak tidak sopan.
"Kau ... setidaknya, jagalah sikapmu di perayaan sebesar ini," beberapa kali pria Anbu itu membungkuk maaf didepan para tamu yang datang. Banyak pejabat dari luar Negara yang bahkan menghadiri pesta besar Hyuuga.
Reaksi yang tidak kalah mengejutkannya datang dari Sakura Haruno.
"KYAAA!" wajah itu menjerit tidak percaya saat mengetahui kenyataan bahwa guru Kakashi adalah pria terseksi (setidaknya, menurut Sakura) yang tidak mau mengumbar pesonanya sejak dulu, "Guru Kakashi!"
Mendengar murid didiknya yang menjerit-jerit, akhirnya Yamato memutuskan untuk melengos pergi karena tidak tahan dengan pandangan yang menujam kearahnya, "Kakashi, kuserahkan bocah-bocah itu padamu," kepala berambut putih itu mengangguk sebelum akhirnya tubuh Yamato bergerak menjauhi kerumunan.
"Halo.." Kakashi beralih pada mantan muridnya kini. Sakura menatapnya tidak berkedip, begitupun dengan Naruto. setelah sekian tahun lamanya mereka menduga-duga, mencoba untuk menjebak guru sejuta akal tersebut, Memaksanya untuk melepaskan penutup mulut yang dimaksud dan tak pernah dituruti sekalipun. kini Guru Kakashi tampil apa adanya di depan Naruto dan Sakura, seperti keinginan mereka ketika ninja-ninja itu masih berumur duabelas tahun. Wajah Sai ikut tertegun saat itu. karena wajah Kakashi memanglah bukan main.
"G-Guru Kakashi? I-itu asli?" tunjuk Sakura pada wajah bersahaja didepannya. Tetes keringat turun diantara dahi Kakashi. Muridnya seperti baru saja menemukan sebuah mahluk asing dari planet luar.
"Haha.." ia tertawa garing. Tangannya kembali mengusap tengkuk kuat dibelakang rambut putihnya, "Sebaiknya kita segera masuk Naruto.. tidak enak berdiri di luar gerbang, mengganggu para tamu masuk,"
"Tidak," bocah pirang itu menahannya, "Sasuke belum melihat guru Kakashi. Guru Kakashi harus tunggu sebentar lagi," pinta Naruto memelas. Batinnya bertanya-tanya, seperti apa ekspresi Sasuke ketika melihat guru mereka nanti. Kepalanya mencari-cari disekitar,
"Eh.. Naruto," guru Kakashi memanggilnya pelan. Wajah bocah itu menoleh, "Jangan panggil aku dengan sebutan guru lagi," bola mata kebiruan itu membelalak tidak percaya dengan ucapan yang di lontarkan oleh Kakashi.
"Lho? Kenapa?" tanyanya kebingungan. Guru Kakashi nyengir lebar seraya mengacak-acak rambut pirang itu.
"Kau yang sekarang ini sudah berkembang, tidak seperti dulu lagi," ia masih mengelus kepala Naruto lembut, "Posisi kita seimbang, Naruto," garis-garis di pipi kecoklatan itu tertarik karena bibirnya membuat senyuman,
"Seimbang? Aku yang sekarang lebih kuat darimu, Kakashi-sensei," dan mereka yang ada di sekitar Naruto tertawa melihat tingkah sang ninja penuh kejutan nomor satu itu.
"Dasar Naruto.."
Dari kejauhan, suara berat itu membuat beberapa kepala menoleh padanya. Wajah dingin khas Uchiha terlukis jelas di depan pupil mata Naruto,
"Sasuke.." desisnya pelan.
"S-Sasuke-kun," Sakura ikut berujar. Matanya memerhatikan Sasuke dengan pandangan rindu.
Bola mata Sasuke mengatup sejenak, sebagai jawaban atas balasan dari sapaan Naruto dan Sakura. Di belakangnya, munculah dua orang yang kemarin menjadi tamu di rumah keluarga Uchiha.
"Kenalkan,"
gantian, mata Kakashi yang membelalak tidak percaya. Yang lain juga sedikit tertegun, namun tidak sebesar rasa kaget yang dipancarkan oleh Kakashi saat ini. Pupil hitam kecilnya melihat dua orang itu di secara bergantian, dengan nyata. Sekarang, "Kakakku, Obito dan istrinya.. Rin,"
"Selamat pagi, Hokage-sama," sapa Rin lembut. Perasaan Kakashi bagaikan disentrum oleh aliran listrik yang kuat. hatinya merasa hangat, ditengah musim gugur yang baru saja datang di desa Konoha saat ini.
"Rin.." ia berucap lirih. Matanya menoleh pada sosok di sebelah gadis berambut cokelat sebahu itu, "O-Obito…" demi tuhan, ia tidak percaya bisa menyebut nama itu dengan jelas di bibirnya. Wajah Uchiha yang dipanggil tersenyum lebar,
"Hai Kakashi! Wajahmu berubah jauh sekali!" ungkapnya bersemangat. Naruto dan yang lainnya segera pergi, memberikan waktu bertiga bagi Kakashi, Obito dan Rin untuk bernostalgia.
"Kau.. bagaimana bisa?" tanya Kakashi tidak percaya. Matanya sungguhan menangkap wajah bahagia dari Rin dan Obito yang kini tersenyum kepadanya.
"Ceritanya panjang sekali," ungkap Rin pelan. Ia menggenggam tangan kekasihnya Obito, lebih kuat dari yang sebelumnya, "Aku sendiri tidak percaya, bisa menemukannya masih hidup," Obito mengangguk. Ia sempat tertawa kepada Rin sebelum akhirnya membalas,
"Selama ini, orang-orang berpikir kalau aku sudah mati. Namun nyatanya tidak," ia menangkap mata Kakashi yang tajam menujamnya, "Setelah perang ninja ketiga, aku koma. Rin yang menemukan tubuhku. Ia masih merasakan adanya denyut nadi yang bergerak didalamnya. Lantas, aku dibawa pergi menuju tempat persembunyiannya. Selama bertahun-tahun lamanya, aku diurus oleh Rin sampai benar-benar pulih seperti ini. Delapan tahun aku koma. Rekor terlamaku," gigi putih itu berderet bersih, "Dan setelah sadarpun, aku belum bisa bergerak seperti orang normal lainnya. Rin.. Rin yang mengurusku dengan sabar. Ia benar-benar luarbiasa," pemuda itu mengecup dahi Rin dengan lembut, "Aku beruntung sekali.. Kakashi,"
"Bodoh,"
ungkap Kakashi pendek dan dingin. Wajah Obito dan Rin yang tertawa tadi kini tersapu hilang, "Kau tidak mengerti, betapa seringnya aku mengutuk diri setelah mengetahui kematianmu.." tubuh Kakashi masih tegap. Namun jantungnya terasa panas, "Kau tidak tahu, butuh berapa lama bagiku untuk membiasakan diri mendengar gunjingan orang-orang yang membicarakanmu," telapak tangan Kakashi mengepal, kemudian memukul wajah sahabatnya dengan kuat.
DUAKH!
"A-Astaga!" Rin memekik kaget.
"O-OI!" Obito menjerit sambil mengelus pipinya, "Kau ini jahat sekali sih! Huh!" wajah Kakashi tertawa kini.
"Aku tidak percaya akan mengatakan ini pada kalian tapi... Selamat datang di Konoha,"
"Maaf ya… kami tak memberikan kabar apa-apa padamu," ungkap Rin sopan.
"Dan eh, sepertinya aku melewati banyak momen penting semasa penyembuhanku. Ya kan?" Kakashi mengangguk setuju.
"Ya. Kau akan terpesona dengan ceritaku setelah ini," pria berambut perak itu mengajak sahabat-sahabatnya untuk masuk ke kediaman Hyuuga, "Ayo,"
Obito dan Rin tertawa mendengarnya. Kelompok Minato berkumpul kembali.
.
.
oOoFujioOo
.
.
Dentuman gendang bertalu-talu menyambut kemunculan Hiashi, selaku ayah sekaligus pemimpin klan Hyuuga saat ini. Dari barisan tengah, kelompok Naruto, bersama dengan kelompok Ino, Kiba dan Tenten duduk dengan antusias menunggu siapa orang yang akan ditunangkan kali ini.
Masalahnya, dalam surat undangan yang diterima oleh mereka tidak di sebutkan siapa pihak yang terlibat dalam acara yang dimaksud. Namun Tenten sudah menebak bahwa Neji yang sejak kemarin tidak nampak menjalankan misi menjadi sosok yang patut di curigai.
"Menurutmu, siapa yang bertunangan?" semuanya mengangkat bahu. Klan Hyuuga memang senang menyimpan rahasia sampai waktunya tiba.
"Hei, Sasuke, Bagaimana tadi wajah Kakashi-sensei?" ekspresi Naruto terlihat jahil namun, wajah Sasuke menoleh tidak peduli,
"Memangnya kenapa dengan wajah Kakashi? Pandangannya kembali menghadap depan. Dilihatnya Hiashi yang masih mendapat banyak tepukan tangan dari orang-orang yang mendengarkan sambutannya. Pipi Naruto menggembung kemudian.
"Hmm.." Ia yang tidak tahan dengan pidato, sontak mencari topik obrolan untuk di ceritakannya kepada Sasuke, "Apa kau masih ingat dengan cita-citamu yang ingin membangkitkan klan dulu?" tanya Naruto kemudian. Tuan Hiashi belum berhenti bicara di depan. Lantas Naruto kembali mengobrol dengan seenaknya.
"Ha?" Sasuke mengangkat alisnya, tidak suka.
"Kau akan membangkitkan klanmu dengan siapa hei~" goda Naruto lagi. Sakura terkikik tidak kuat, begitupun dengan Ino dan yang lainnya, "Nanti kalau sudah berencana akan menikah, undang aku ke pesta pernikahan–"
"Hh.. Dobe, orang yang ingin bertunangan sudah berjalan di depan sana," Sasuke memotong pembicaraan mereka. Ia mendengus saat mengetahui wajah Naruto dan yang lainnya sudah menatap takjub di depan panggung rumah keluarga Hyuuga.
"N-Neji?" ungkap Tenten kaget, "T-ternyata Neji dan Hinata!"
"Whoaa!"
Serta-merta suara riuh menyambut kedatangan mereka berdua. Kedua manusia itu duduk bersimpuh di depan Hiashi, kemudian mengucapkan sumpah sesuai dengan tradisi yang mereka jalankan. Neji melepaskan ikat perban yang menutupi dahinya. Terpampang di sana, lambang yang menunjukkan bahwa dirinya berasal dari kalangan Bunke.
"Souke-Bunke sungguhan menyatu," salah satu tamu memekik kagum dengan kerasnya. Wajah Naruto menoleh dan mendapati dirinya terkejut oleh hadiah kecil dari tuhan,
"Inari! Konohamaru!" cucu dari kakek Tazuna, orang yang pernah menjadi klien pertamanya dalam menjalankan misi tersebut kini sudah beranjak remaja. Tingginya sepantaran dengan cucu dari Hokage ketiga.
"Ka Naruto!" mereka saling bertemu. Diketahui Inari menjadi akrab dengan Konohamaru saat bocah itu mengatakan bahwa ia mengenal Naruto.
"Lalu aku mengajaknya untuk makan ramen di kedai Ichiraku," ucap Konohamaru berceloteh, "Sudah ya, aku mau pergi ke tempat pak Tazuna," mereka berdua pamit sebelum akhirnya berlarian menuju kakek tua berkacamata di ujung pandang.
"DAHH!" Naruto melambai penuh semangat diantara kerumuman. Bola mata safirnya kembali memusat, terfokus pada Hinata. Sepertinya ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Karena Hinata yang sekarang, sudah memiliki seseorang yang akan selalu ada di sampingnya.
"Selamat ya.. Hinata," bocah pirang itu bergumam pelan. Sasuke, satu-satunya orang yang mendengar suara kecil Naruto itupun menoleh. Senyum tipisnya terumbar, namun tidak ada satupun yang melihat karena semuanya sibuk menatap Hinata penuh pesona.
"Tidak kusangka… Hinata yang itu. dengan Neji," Ino masih mendecak kagum. Beribu kertas putih berterbangan di atas kepala mereka. Dan kembang api penuh warna muncul setelahnya.
"Wahh.. indahnya,"
Ini hanyalah sebuah awal dari kehidupan mereka semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Gaara di episode Chapter 261

Perbedaan Shunshin no jutsu dan Jikukan ninjutsu

Mangekyou Sharingan Kakashi dan Itachi